sirih, tak sesederhana namanya

Beberapa hari yang lalu saya menonton acara bolang di trans 7, Edisi rabu 7 januari 2015. Lokasinya di timur indonesia, kalau saya tidak salah ingat di sekitaran kalimantan. Nah, dari edisi ini yang membuat saya tertegun adalah ketika si bolang dan teman temannya mencari sejenis keong di sungai untuk di bakar menjadi abu. Abu inilah yang akhirnya di jadikan sebagai kapur, teman makan sirih. Dari tayangan ini pula di ceritakan bahwa memakan sirih adalah salah satu kebiasaan warga disana. Dari orang tua hingga anak-anak. Yang menarik bagi saya adalah makan sirih nya. Ya, saya pikir selama ini makan sirih itu hanya punya kami,orang aceh.

Saya ingat sekali. Ketika kecil saat tinggal bersama nenek, saya selalu melihat nenek makan ranub. Orang aceh menyebut sirih sebagai ranub. Biasanya beliau menaruh pinang, kapur, cengkeh, daun sirih dan gapet (alat berbentuk seperti gunting untuk memotong pinang) di sebuah mangkung dari bahan kuningan penuh ukiran. Biasanya beliau menyebut bate ranub untuk benda ini. Nah, seperti makan yang sehari 3 kali, maka biasanya nenek akan memakan ranub sebanyak itu dalam sehari. Beliau duduk di atas tumpukan padi yang di tutup tikar di salah satu sudut rumah. Lalu mengambil bate ranub dan meracik ranubnya lalu dimakan biasanya setelah makan nasi. Tidak lama kemudian bibirnya memerah. Karena kebanyakan rumah di pedesaan aceh masih merupakan rumah panggung dengan beberapa sudut lantainya masih dari bambu, mudah saja nenek membuang ludah yang memerah dari sela sela bambu tersebut hingga akhinya jatuh ketanah.

Teman nenek lebih parah lagi. Tiada saat dimana mulutnya tidak merah oleh ranub. Mirip orang yang mengunyah permen karet. Ranub di makan, aktivitas seperti bicara tetap jalan. Katanya kalau tidak makan ranub ada yang kurang.

Di tempat saya dulu juga banyak yang menjual ranub. Sedikit modern. Ranub dijual dalam plastik putih seharga Rp. 500 per buahnya di kios kios. Yang beli bisa siapa saja. Biasanya orang orang dewasa hingga orang tua.

Hingga saya sedikit besar. Ternyata ada tari ranub lampuan. Tari yang biasanya untuk memuliakan tamu. saga pernah jadi penarinya dulu, saat SD. Nah, ada beberapa orang penari yang memegang puan semacama mangkung. Salah satu dari kami akan memegang puan besar berisi ranub yang di akhir tarian akan di bagikan kepada tamu yang datang.

Sampai saya sedikit besar lagi, waktu itu bang saya ingin melamar gadis impiannya. Mamak sibuk mencari orang yang bisa menyusun ranub. Akhirnya ketemu. Iyap, ranub disusun sedemikian rupa untuk dijadikan seserahan pada waktu lamaran dan pada saat pesta. Bentuknya beragam.

Dan sampai saat ini, disaat saya sudah besar. Saya masih melihat ada seorang ibu ibu yang menjual ranub di persimpangan jalan di pasar. Pembelinya? Masih ada. Saya tumbuh dengan terus melihat sirih dalam banhak ragam di aceh.

Sirih bagi orang aceh bermakna perdamaian dan kehangatan sosial. Batee ranub melambangkan keindahan budi pekerti dan akhlak yang luhur, sirih berarti merendahkan diri dan memuliakan jamu, kapur melambangkan ketulusan, gambir menunjukkan keteguhan hati, dan pinang menunjukkan keturunan yang baik.

Nah, semua yang saya lihat, makanya saya berpikir, ranub adalah milik orang aceh. Yang menggunakannya sebagai cemilan, memuliakan tamu, hingga pada acara adat pernikahan. Ranub adalah sesuatu yang merakayat. Tapi, sejak menonton acara bolang saya sadar bahwa ranub tak sekedar itu.

Ternyata kebiasaan menyirih tersebar diseluruh pelosok negeri melewati batasan pulau. Dari berbagai sumberdan tulisan, kebiasaan menyirih di minang juga mirip dengan di aceh seperti pada acara pernikahan, meminang, pengobatan malah ada kepercayaan mistis disana. Orang orang batak menggunakannya sebagai pengobatan, bahkan disalah satu tulisan pernah ada seorang peneliti yang datang ke tanah batak baru diterima ketika beliau memakan sirih. Di flores sirih di gunakan ketika poses kematian, kalimantan menyirih dilakukan mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, bahkan di papua kebiasaan menyirih sudah ditularkan hingga kepada wisatawan asing. Wow! Sungguh menusantara yang namanya sirih ini. Menjelajah negeri melewati perbedaan adat, budaya dan bahasa.

Jika di lihat melalui sudut pandang sejarah, kedatangan sirih ini memiliki banyak versi. Ada yang menyebutkan sirih masuk ke indonesia abad ke 15 di bawa oleh orang india, cina dan eropa saat mereka mengelilingi nusantara mencari rempah rempah. Mereka mengunjungi daerah pelabuhan seperti sumatra, jawa, sulsel, hingga maluku. Dari versi lain menyebutkan sirih merupakan warisan budaya yang ada sejak 3000 tahun lalu. Budaya ini hidup di asia tenggara. Namun dari catatan marcopolo pada abad ke 13 yang menyebutkan orang india suka mengunyah segumpal tembakau maka kemungkinan sirih berasal dari indonesia.

Yah, seperti apapun sejarah awal mulanya, sirih tetap mengindonesia. Dia menjadi kebiasaan bagi seluruh masyarakat indonesia mulai dari barat hingga ke ujung timur. Sesuatu yang menusantara dan mempersatukan kita selain bahasa indonesia. Kita mungkin punya bahasa berbeda, acara adat berbeda, makanan berbeda bumbunya, tapi kita punya satu kebiasaan yang sama dengan filosifi yang tidak jauh berbeda yaitu menyirih. Sesuatu yang mulai hilang sedikit demi sedikit seiring perjalanan waktu. Padahal selain bahasa indonesia, menyirih adalah adat yang mempersatukan kita. Kita bisa duduk bersama walau berbeda suku dengan hidangan sirih.

Mari lestarikan dan mari kita jaga sama sama budaya kita, budaya menyirih yang tak sesederhana yang terlihat karena sirih mempersatukan nusantara kita yang berpulau pulau ini. Salam dari barat indonesia dan terima kasih bolang. Loksukon 16 januari 2015